Rekontruksi Peradaban Islam Pada
Masa Ke Emasan
“Belajar Sejarah Itu
Penting Tetapi Belajar Dari Sejarah Lebih Penting ”
Oleh Syahri
al-Wadanji
Dalam
terma merekontruksi masa ke emasan peradaban islam, menginggatkan kita pada
suatu masa yang pernah diukir para ilmuan muslim di era abbasiyah yang pernah
menjadi kiblat peradaban dunia pada era pertengahan, semua itu sebenarnya dapat
diruntut dari pemaknaan terhadap studi islam (islamic studies dirasah
islamiyah) yang masih terdapat beragam cara pandang dalam memahami sains dan
kedudukannya dalam islam. Sebagian orang masih masih berpendapat bahwa sains
adalah ilmu umum yang terpisah dari agama islam, bahkan ada yang lebih apriori,
itu bukan bersumber dari ajaran islam sehingga tidak dapat membimbing seseorang
kepada kesalihan. Sementara itu sebagian yang lain berpendapat bahwa antara
sains dan agama tidak ada perbedaan sebab keduanya pada dasarnya sama-sama
sebagai sarana untuk membuka takbir keagungan Allah SWT.
Dengan
demikian, ketika mengkaji tentang studi Islam sama sekali tidak ada bayangan
untuk mengaitkan dengan keilmuan lain, sebab ilmu-ilmu lain tersebut dianggap
“bukan ilmu agama“ atau entitas tunggal (single entity) yaitu sebuah tradisi
yang menitik beratkan pada teks keagamaan dengan menggunakan epistemologi bayani
atau burhani yang cenderung tidak mau memanfaatkan produk keilmuan lain,
seperti realitas sosial, budaya, dan kealaman, merupakan sumber pengetahuan,
akibatnya ketika muncul permasalah-permasalah dimasyarakat, tidak ada kerjasama
antara tradisi keilmuan tersebut, sehingga alternatif pemecahan kurang
applicable, bahkan saling bertolak belakang hasilnya.
Dalam situasi
yang komplek dengan masalah Mukti Ali dan Harun Nasution, memberikan beberapa ide
baru dalam kontek pendidikan Islam bahwa sudah saatnya memanfaatkan ilmu-ilmu
lain sebagai alat bantu dalam mengkaji kajian islam untuk memecahkan problem
realitas, yang selama ini hanya didasarkan pada ilmu naqli semata, namun
meminjam ilmu-ilmu lain seperti sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi,
filsafat dan ilmu lain yang bisa mebantu mengkaji keislaman secara kaffah.
Menggunakan
pendapat Abid al-jabiri, ada tiga telaah epistemologi dalam tradisi ilmu
pengetahuan, yaitu bayani, burhani dan ‘ifani. Secara istilah bayani
bererti kesinambungan (al-wasl), keterpilahan (al-fasl), jelas
dan terang (al-zuhur wa al-wuduh). Adapun ciri pola pikir bayani adalah
nalar tekstual, menitik beratkan pada wacana diskursif, yang berkisar pada
wilayah kata dan makna, adanya hegemoni dari otoritas salaf sebagai sumber
pengetahuan. Implikasi nalar bayani adalah cenderung mental dogmatik, defensif
dan apologis atau paradigma “pokok-e”(jawa). Seorang yang didominasi nalar
bayani cenderung tidak mau menerima pendapat orang lain, mempertahankan
pendapatnya sendiri dan selalu merasa menang sendiri dalam berpendapat.
Jika,
dalam nalar bayani ditekankan pada teks, maka nalar burhani adalah
realitas (al-waqi’) baik alam, sosial, humanitis, maupun keagamaan. Ilmu
dalam tradisi burhani disebut al-ilm al-husuli, yaitu ilmu yang
dikonsep, disusun secara sistematis melalui premis logika, proses abstraksi (al-mawjudat
bari’ah min al-maddah), pengematan inderawi yang valid dengan menggunakan
alat laboratorium, observatorium, penelitian serta kajian yang mendalam, untuk
mencari sebab akibat sehingga diupayakan mengganalisis dan menguji secara
terus-menerus kesimpulan sementara dan teori yang dirumuskan melalui
premis-premis. Dari semua pengalaman (experience) itu di sebuat nalar ‘irfani
atau pengalaman hidup yang tak ternilai harganya atau disebut al-ilm
al-huduri.
Sehingga
sains, mampu memadukan antara nalar bayani dan burhani serta ‘irfani,
bahwa sains juga bersumber dari teks dalam pengertian inspiratif,
dan sains juga mampu mengantarkan ilmuan untuk mendekatkan pada sang pencipta
alam semesta ini, sesuai firman Allah. SWT
Maka
apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami
meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak
sedikitpun ? Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya
gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang
indah dipandang mata, untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap
hamba yang kembali (mengingat Allah). (Q.S Qaf : 6-8) dan, Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan
kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka. ( Q.S. Ali Imran ; 190-191).
Wallahua’lam bisshowab
Pengertian, Ruang Lingkup
Filsafat Pendidikan Islam
Pendidikan adalah suatu proses
untuk menghasilkan suatu out put yang mengarah kepada pengembangan
sumber daya manusia yang berkualitas tinggi dan berdisiplin tinggi.
Rumusan pendidikan yang
dikemukakan oleh Ibnu Khaldun adalah merupakan hasil dari berbagai pengalaman
yang dilaluinya sebagai seorang ahli filsafat sejarah dan sosiologi yang
mencoba menghubungkan antara konsep dan realita. Sebagai seorang ahli filsafat
sejarah atau historical philosophy approach, karena kedua pendekatan
tersebut akan mempengaruhi terhadap sistem dan pemikirannya dalam pembahasan
setiap masalah, karena kedua pendekatan tersebut mampu merumuskan beberapa
pendapat dan interpretasi dari suatu kenyataan dan pengalaman yang telah
dilalui.
Pandangan Ibnu Khaldun tentang
pendidikan Islam berpijak pada konsep dan pendekatan filosofis-empiris. Melalui
pendekatan ini, memberikan arah terhadap visi tujuan pendidikan Islam secara
ideal dan praktis. Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai
dalam proses pendidikan, yaitu:
- Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill)
dalam bidang tertentu. Orang awam bisa meneliti, pemahaman yang sama
tentang suatu persoalan dengan seorang ilmuwan. Akan tetapi potensi al-malakah
tidak bisa demikian oleh setiap orang, kecuali setelah ia benar-benar
memahami dan mendalami suatu disiplin tertentu.
- Penguasaan ketrampilan professional sesuai dengan
tuntutan zaman (lingkungan dan materi). Dalam hal ini pendidikan hendaknya
ditujukan untuk memperoleh ketrampilan yang tinggi pada potensi tertentu.
Pendekatan ini akan menunjang kemajuan dan kontinuitas sebuah kebudayaan, serta
peradaban umat manusia di muka bumi. Pendidikan yang meletakkan
ketrampilan sebagai salah satu tujuan yang hendak dicapai dapat diartikan
sebagai upaya mempertahankan dan mengutamakan peradaban secara
keseluruhan.
- Pembinaan pemikiran yang baik. Kemampuan berpikir
merupakan jenis pembeda antara manusia dengan binatang. Oleh karena itu,
pendidikan hendaknya di format dan dilaksanakan dengan terlebih dahulu
memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi psikologis
peserta didik. Melalui pengembangan akal, akan dapat membimbing peserta
didik untuk menciptakan hubungan kerjasama sosial dalam kehidupannya, guna
mewujudkan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.
Kedudukan
Manusia Dalam Alam Semesta
Manusia menurut Ibnu Khaldun
adalah bukan merupakan produk nenek moyang, akan tetapi produk sejarah,
lingkungan sosial, lingkungan alam, adat istiadat. Karena itu lingkungan sosial
merupakan pemegang tanggung jawab dan sekaligus memberikan corak penilaian
seorang manusia. Hal ini memberikan arti bahwa pendidik menempati posisi
sentral dalam rangka membentuk manusia ideal yang diinginkan.
Manusia sebagai khalifah
fil ardli, dibekali oleh Allah SWT akal pikiran, untuk mengatur,
merekayasa, dan mengolah sumber daya alam untuk keperluan seluruh umat manusia,
sehingga manusia memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Maka manusia
dikatakan sebagai makhluk yang berbeda dengan makhluk yang lainnya, karena
manusia adalah makhluk yang berpikir. Oleh karena itu manusia mampu melahirkan
ilmu (pengetahuan) dan teknologi. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh
makhluk lainnya. Kemampuan berpikirnya itu tidak hanya membuat kehidupannya,
tetapi juga menarik peneliti terhadap berbagai cara guna memperoleh makna
hidup. Proses-proses yang semacam ini melahirkan perbedaan.
Akal pikiran yang menghasilkan
ilmu pengetahuan, juga dapat menuntun manusia ke jalan Ilahi dan meningkatkan
derajat manusia sehingga manusia diwajibkan untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Hidupnya jiwa manusia karena ilmu pengetahuan, dan gelapnya hati manusia karena
miskinnya ilmu pengetahuan.
Dengan akal pikiran inilah yang kemudian menjadikan manusia memiliki
perbedaan dengan makhluk lainnya, khususnya binatang. Perbedaan ini antara lain
karena manusia disamping memiliki pemikiran yang dapat menolong dirinya untuk
menghasilkan kebutuhan hidupnya, juga memiliki sikap hidup bermasyarakat yang
kemudian dapat membentuk suatu masyarakat antara satu dengan lainnya saling
menolong. Dari keadaan manusia yang demikian itu maka timbullah ilmu pengetahuan
dan masyarakat. Pemikiran tersebut pada suatu saat diperlukan dalam
menghasilkan sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh panca indera. Ilmu yang
demikian mesti diperoleh dari orang lain telah lebih dahulu mengetahui.
Hakikat dan Tujuan Pendidikan
Rumusan Ibnu Khaldun mengenai tujuan pendidikan adalah untuk:
Memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena
aktivitas ini sangat penting bagi terbuka pikiran dan kematangan
individu kemudian kematangan ini kan mendapat faedah bagi masyarakat. Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan sebagai
alat untuk membantunya, hidup dengan baik di dalam masyarakat maju dan
berbudaya. Memperoleh lapangan pekerjaan, yang digunakan
untuk memperoleh rizki.
Beberapa faktor yang dijadikan alasan untuk merumuskan tujuan pendidikan
yaitu:
- Pengaruh filsafat sosiologi yang tidak bias
memisahkan antara masyarakat, ilmu pengetahuan dan kebutuhan
masyarakat.
- Perencanaan ilmu pengetahuan sangat
menentukan bagi perkembangan masyarakat berbudaya.
- Pendidikan sebagai aktivitas akal insani,
merupakan salah satu industri yang berkembang di dalam masyarakat, karena
sangat urgent dalam kehidupan setiap individu.
Hakikat Pendidik
Seorang pendidik hendaknya memiliki pengetahuan yang memadai tentang
perkembangan psikologis peserta didik. Pengetahuan ini akan sangat
membantunya untuk mengenal setiap individu peserta didik dan mempermudah dalam
melaksanakan proses belajar mengajar. Para pendidik hendaknya mengetahui kemampuan
dan daya serap peserta didik. Kemampuan ini akan bermanfaat bagi menetapkan
materi pendidikan yang sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Bila
pendidik memaksakan materi di luar kemampuan peserta didiknya, maka akan
menyebabkan kelesuan mental dan bahkan kebencian terhadap ilmu pengetahuan yang
diajarkan. Bila ini terjadi, maka akan menghambat proses pencapaian tujuan
pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara materi pelajaran
yang sulit dan mudah dalam cakupan pendidikan.
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik hendaknya mampu menggunakan
metode mengajar yang efektif dan efisien. Ibnu Khaldun mengemukakan 6 (enam)
prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu:
Prinsip pembiasaan
Prinsip tadrij (berangsur-angsur)
Prinsip pengenalan umum (generalistik)
Prinsip kontinuitas
Memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik
Hakikat Peserta Didik
Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah
potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini peserta didik
merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang
belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada
bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, kehendak,
perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.
Melalui paradigma di atas, menjelaskan bahwa peserta didik merupakan subjek
dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk
membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya
menuju kecerdasan.
Pada dasarnya peserta didik adalah:
Peserta didik bukan merupakan miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki
dunianya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar perlakuan terhadap
mereka dalam proses kependidikan tidak disamakan dengan pendidikan orang
dewasa, bahkan dalam aspek metode, mengajar, materi yang akan diajarkan, sumber
bahan yang digunakan dan sebagainya.
Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi periodesasi
perkembangan dan pertumbuhan. Aktivitas kependidikan Islam disesuaikan dengan
tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang pada umumnya dilalui oleh setiap
peserta didik. Karena kadar kemampuan peserta didik ditentukan oleh
faktor-faktor usia dan periode perkembangan atau pertumbuhan potensi yang
dimilikinya.
Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik menyangkut
kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani yang harus dipenuhi. Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual
(diferensiasi individual), baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun
lingkungan di mana ia berada.
Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur alam, yaitu jasmani
dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik yang menghendaki latihan dan
pembiasaan yang dilakukan melalui proses pendidikan. Sementara unsur rohani
memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya rasa. Untuk mempertajam daya akal
maka proses pendidikan hendaknya melalui ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk
mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak dan ibadah. Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang
dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.
Hakikat Kurikulum
Kurikulum adalah merupakan landasan yang digunakan pendidik untuk
membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui
akumulasi sejumlah pengetahuan, ketrampilan dan sikap mental.
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang kurikulum pendidikan dapat dilihat dari
konsep epistemologinya. Menurutnya, ilmu pengetahuan dalam kebudayaan umat
Islam dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu:
Ilmu Pengetahuan syar’iyyah yang berkenaan dengan hukum dan ajaran
agama Islam. Ilmu pengetahuan syar’iyyah yaitu ilmu-ilmu yang bersandar
pada “warta” otoritatif syar’i (Tuhan/Rosul) dan akal manusia tidak
mempunyai peluang untuk “mengotak-atiknya”, kecuali dalam lingkup
cabang-cabangnya. Itu pun masih harus berada dalam kerangka diktum dasar
“warta” otoritatif tersebut. Ilmu ini diantaranya adalah tentang Al-Qur’an,
Hadits, prinsip-prinsip syari’ah, fiqh, teologi, dan sufisme.
Ilmu pengetahuan filosofis, yaitu ilmu yang bersifat alami yang
diperoleh manusia dengan kemampuan akal dan pikirannya. Lingkup persoalan,
prinsip-prinsip dasar dan metode pengembangannya sepenuhnya berdasar daya
jangkau akal pikir manusia.
Ilmu pengetahuan filosofis meliputi:
Ilmu Mantik (logika), yakni ilmu yang menjaga proses penalaran dari hal-hal
yang sudah diketahui agar tidak mengalami kesalahan.
Ilmu Pengetahuan Alam, yakni ilmu tentang realitas empiris-inderawan, baik
berupa unsur-unsur atomik, bahan-bahan tambang, benda-benda angkasa maupun
gerak alam jiwa manusia yang menimbulkan gerak dan sebagainya.
Ilmu Metafisika yakni hasil pemikiran tentang hal-hal metafisis.
Ilmu Matematika, ilmu ini meliputi empat disiplin keilmuan yang disebut al-Ta’lim
yakni: a) Ilmu Ukur (al –Handasah); b) Ilmu Aritmatika; c) Ilmu Musik;
d) Astronomi.
Ilmu pengetahuan filosofis juga sering disebut
sains alamiah. Hal ini disebabkan karena dengan potensi akalnya, setiap
orang memiliki kemampuan untuk menguasainya dengan baik.
Ilmu pengetahuan syar’iyyah dan filosofis merupakan
pengetahuan yang ditekuni manusia (peserta didik) dan saling berinteraksi, baik
dalam proses memperoleh atau proses mengajarkannya. Konsepsi ini kemudian
merupakan pilar dalam merekonstruksi kurikulum pendidikan Islam yang ideal,
yaitu kurikulum pendidikan yang mampu mengantarkan peserta didik yang memiliki
kemampuan membentuk dan membangun peradaban umat manusia.
Metode Pendidikan
Metode pendidikan adalah segala segi kegiatan yang terarah yang dikerjakan
oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya. Ciri-ciri
perkembangan peserta didik dan suasana alam di sekitarnya dan tujuan membimbing
peserta didik untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang
dikehendaki pada tingkah laku mereka.
Metode pendidikan sama halnya dengan metode pembelajaran (pengajaran), yang
mana pemikiran Ibnu Khaldun tentang metode pendidikan terungkap lewat empat
sikap reaktifnya terhadap gaya para pendidik (guru) dimasanya dalam dasar empat
dasar persoalan pendidikan.
Pertama,, kebiasaan mendidik dengan metode “indoktrinasi” terhadap anak-anak
didik, para pendidik memulai dengan masalah-masalah pokok yang ilmiah untuk
diajarkan kepada anak-anak didik tanpa mempertimbangkan kesiapan mereka untuk
menerima dan menguasainya. Maka Ibnu Khaldun lebih memilih metode secara
gradual sedikit demi sedikit, pertama-tama disampaikan permasalahan pokok tiap
bab, lalu dijelaskan secara global dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan
dan kesiapan anak didik, hingga selesai materi per-bab.
Kedua, memilah-milah antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai instrinsik, semisal
ilmu-ilmu keagamaan, kealaman, dan ketuhanan, dengan ilmu-ilmu yang
instrumental, semisal ilmu-ilmu kebahasa-Araban, dan ilmu hitung yang
dibutuhkan oleh ilmu keagamaan, serta logika yang dibutuhkan oleh filsafat.
Ketiga, Ibnu Khaldun tidak menyukai metode pendidikan yang terkait dengan strategi
berinteraksi dengan anak yang “militeristik” dan keras, anak didik harus
seperti ini dan seperti itu, karena berdampak buruk bagi anak didik berupa
munculnya kelainan-kelainan psikologis dan perilaku nakal.
Ibnu Khaldun mengajarkan agar pendidik bersikap sopan dan halus pada
muridnya. Hal ini termasuk juga sikap orang tua terhadap anaknya, karena orang
tua adalah pendidik yang utama. Selanjutnya jika keadaan memaksa harus memukul
si anak, maka pemukulan tidak boleh lebih dari tiga kali.
Hakikat Evaluasi Pendidikan
Evaluasi pendidikan Islam dapat dibagi batasan sebagai suatu kegiatan untuk
menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan dalam proses pendidikan Islam. Dalam
ruang lingkup terbatas, evaluasi dilakukan adalah dalam rangka menjelaskan
tingkat keberhasilan pendidik dalam menyampaikan materi pendidikan Islam kepada
peserta didik. Sedangkan dalam ruang lingkup luas, evaluasi dilakukan untuk
mengetahui tingkat keberhasilan dan kelemahan suatu proses pendidikan Islam
(dengan seluruh komponen yang terlibat di dalamnya) dalam mencapai tujuan
pendidikan yang dicita-citakan.
Secara umum ada empat kegunaan evaluasi dalam pendidikan Islam, yaitu:
- Dari segi pendidik, evaluasi berguna untuk
membantu seorang pendidik mengetahui sudah sejauh mana hasil yang dicapai
dalam pelaksanaan tugasnya.
- Dari segi peserta didik, evaluasi berguna
membantu peserta didik untuk dapat mengubah atau mengembangkan tingkah
lakunya secara sadar ke arah yang lebih baik.
- Dari segi ahli fikir pendidikan Islam,
evaluasi berguna untuk membantu para pemikir Islam dan membantu mereka
dalam merumuskan kembali teori-teori pendidikan Islam yang relevan dengan
arus dinamika zaman yang senantiasa berubah.
- Dari segi politik pengambil kebijakan
pendidikan Islam (pemerintah), evaluasi berguna untuk membantu mereka
dalam membenahi sistem pengawasan dan mempertimbangkan kebijakan yang akan
diterapkan dalam suatu pendidikan nasional (Islam).
Konsep evaluasi dalam pendidikan Islam bersifat menyeluruh, baik dalam
hubungan manusia dengan Allah SWT sebagai Pencipta, hubungan manusia dengan
manusia lainnya, hubungan manusia dengan alam sekitarnya, dan hubungan manusia
dengan dirinya sendiri. Spectrum kajian evaluasi dalam pendidikan Islam tidak
hanya terkonsentrasi pada aspek kognitif, tetapi justru dibutuhkan keseimbangan
yang terpadu antara penilaian iman, ilmu, dan amal. Sebab kualitas keimanan,
keilmuan, dan amal shalihnya. Kesemuanya itu merupakan bahan pemikiran bagi
pengembangan sistem evaluasi dalam pendidikan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Jawad Ridla, Muhammad, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam,
Tiara Wacana, Yogyakarta, 2002
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Al-Ma’arif,
Bandung, 1989
Nata, Abuddin, Drs. H. M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Logos Wacana
Ilmu, Jakata, 1997
Nizar, Samsul, H, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis,
Teoritis dan Prakstis, Ciputat Press, Jakarta, 2002
Siregar, Marasudin, Drs, Konsepsi Pendidikan Ibnu Khaldun:Suatu Analisa
Fenomenologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar