Membumikan Gagasan Ibn Khaldun
(Sebuah Pembacaan atas Konsep Sosiologi dan Filsafat Sejarah)
|
Menimbang
Epigonisme dengan Empirisme Religius
Asumsi
yang melekang kuat dalam benak masyarakat muslim selama berabad-abad adalah
selepas runtuhnya Baghdad karena serangan bangsa Mongol, peradaban Islam
menjadi mundur dan hancur. Peradaban Islam, baik di Timur maupun Barat,
bergerak turun menuju titik nadir. Cerita kegemilangan dan optimisme sarjana
raksasa Islam Klasik menguap. Berganti menjadi pesimisme dan glorifikasi atas
tradisi dan warisan masa silam. Inovasi adalah sebuah kelangkaan. Sementara
ketundukan dan kepasrahan adalah sikap yang dominan.
Banyak
sejarawan sepakat dengan asumsi di atas. Bagi mereka, pasca keruntuhan
Baghdad, peradaban Islam telah bangkrut dan gulung tikar. Yang tampil ke
permukaan adalah sekadar pengulangan; tanpa berhasil menjelitkan nuansa baru.
Budaya komentar (syarh), penjelasan (hasyiyah), ringkasan (talkhis)
dan membikin syair (nudhum) adalah lebih dari sekadar bukti untuk
meneguhkan tesis kemunduran dan kebangkrutan peradaban Islam.
Figur-figur
brilian semodel Ibn Rushd yang mencoba mensinergikan antara syariat dengan
filsafat, al-Farabi yang menggagas konsep “al-Madinah al-Fadhilah” dan Ibn
Arabi dengan tawaran Wihdat al-Adyan-nya merupakan figur yang hampir mustahil
terlahir kembali. Mayoritas para sarjana Islam Klasik sesudah mereka yang
hidup pasca keruntuhan Baghdad memilih taklid (budaya epigonisme) dalam
segala bidang sebagai corak dinamika intelektual. Sebuah genre yang
bertolakbelakang dengan style dinamika intelektual pra keruntuhan
Baghdad.
Sesungguhnya,
opini di atas tidaklah sepenuhnya tepat. Bahwa peradaban Islam selepas
jatuhnya Baghdad ke tangan Mongol tak berdaya, benar adanya. Namun, ia tak
benar-benar mati. Beberapa sarjana besar juga terlahir dalam masa kegelapan
Islam. Mereka tidak hanya mengekor. Mereka justru kelak menjadi sarjana besar
karena inovasi-inovasi dan langkah-langkah intelektualnya yang begitu
meraksasa. Teori-teori ilmiah mereka bahkan tetap eksis hingga masa sekarang.
Nyatanya,
abad 14 yang dituding sebagai abad kemunduran berhasil melahirkan banyak
sarjana-sarjana besar yang kelak masyhur dalam pelbagai diskursus keilmuan
kontemporer. Dengan sadar, tulisan ini hendak memotret secara integral kiprah
intelektual Ibn Khaldun, [1] salah seorang sarjana muslim kenamaan yang lahir pada
abad yang disebut banyak orang sebagai abad kemunduran Islam; lahir dan
tumbuh dalam era krisis multi dimensi. Masa di mana Islam dikepung oleh dua
kekuatan imperialisme; dari Barat bergerak tentara Salib dan dari Timur,
bangsa Mongol menyerang dan membabi buta. Masa yang diyakini tidak akan
pernah menghasilkan intelektual-intelektual berkualitas global.
Tulisan
ini pun berupaya merekam motif-motif intelektual sosok Ibn Khaldun. Pun
bermaksud memotret ide-ide raksasa (dengan menjadikan konsep sosiologi dan
filsafat sejarahnya sebagai sampel utama) Ibn Khaldun beserta relevansinya
dalam era mutakhir ini. Terlebih, masyarakat dunia mengenal Ibn Khaldun
sebagai pioner bagi kajian sosiologi modern. Dengan menampilkan Ibn Khaldun
sebagai sebuah anomali, tulisan ini pun berusaha untuk membuktikan bahwa era chaos
bagi peradaban Islam tak melulu paralel dengan lesunya dinamika intektualitas
Islam Klasik. Dalam bahasa yang singkat, bahwa ternyata peradaban Islam belum
pernah padam sebagaimana disangkakan banyak kalangan.
Sebagaimana
disinggung di atas, penyerangan Mongol ke Baghdad 10 Februari 1258 membuat
dinasti Abasiyyah takluk.[2] Iklim intelektual berganti dengan iklim peperangan yang
tak kunjung henti. Abasiyyah terpecah dalam beberapa negara (dinasti) kecil –duwaylât,
dalam istilah Arab. Baik kawasan Barat ataupun Timur. Siklus naik-turun
dialami oleh negara-negara Islam. Realitas ini semakin mempertegas keyakinan
bahwa kemunduran mulai menghinggapi peradaban Islam dalam segala bidang.
Namun,
sebelum peradaban Islam menjadi lenyap, tergantikan oleh peradaban Barat yang
tak enggan untuk mempelajari warisan Ibn Rushd, di Tunisia, terlahir Ibn
Khaldun pada 27 Mei 1332 M; atau empat tahun sebelum kelahiran Timur Lenk.
Sosok yang di kemudian hari menjadi figur fenomenal karena Muqaddimah-nya,
dan juga karena konsep-konsep briliannya. Dengan nada yang sama, dalam buku
klasiknya, Ibn Chaldun und Seine Kulturgeschichte Der Arabischen Reiche,
Von Kriemer bersaksi bahwa kelahiran Ibn Khaldun, pada akhirnya mampu
menyelamatkan iklim intelektualitas Islam. Terlebih dia merupakan tokoh yang
mengawali perbincangan mengenai sejarah peradaban (Kulturgeschichte).[3] Bagi Kriemer, Ibn Khaldun tak hanya sekadar seorang figur
sejarawan. Dia adalah tokoh cerdas yang besar dan eksis dalam diskursus
intelektual karena gagasan-gagasannya.
Sekalipun
terlahir dalam masa kemunduran peradaban Islam,[4] Ibn Khaldun justru besar dan tumbuh dalam suasana
intelektual berkat didikan sang ayah, Muhammad. Ayahnya adalah penganut taat
madzhab Maliki dan berguru langsung terhadap salah satu fuqaha Maliki bernama
Abu Abdillah al-Zabidiy. Seorang pakar fikih otoritatif madzhab Maliki pada
zamannya. Pendidikan yang diterima dari ayahnya inilah yang banyak
mempengaruhi sisi religiusitas seorang Ibn Khaldun. Layaknya penganut madzhab
Maliki lainnya, pemahaman keagamaan Ibn Khaldun lebih banyak didominasi oleh
gaya epigonisme.
Kepada
ayahnya, Ibn Khaldun banyak belajar mengenai kajian-kajian fikih, utamanya
fikih madzhab Maliki. Pun lebih memperdalamnya dengan berguru pada
tokoh-tokoh lainnya. Penguasaannya yang mendalam atas kajian fikih madzhab
Maliki inilah yang pada akhirnya mengantarkan Ibn Khaldun menduduki jabatan
Qadhi al-Qudhat (hakim agung) sepanjang empat tahun. Sebuah jabatan yang
menjerumuskan dirinya dalam kubangan konflik dengan para agamawan Mesir. Fanatisme
madzhab dan ketundukan atas tradisi (epigonisme) menjadi demikian kentara
dalam sosok Ibn Khaldun dalam kapasitasnya sebagai seorang pakar fikih.
Pada
tahun 1347 M, yaitu masa di mana Abu al-Hasan, raja al-Muraniyyin berhasil
menguasai Maghrib Tengah dan Afrika, serombongan sarjana-sarjana besar muslim
dari Andalusia, Tilmasan dan Fas singgah dan menetap di Tunisia. Salah
seorang dari mereka adalah pakar ilmu-ilmu eksakta dan filsafat tersohor di
penjuru Maghrib bernama Abu Abdillah Muhammad ibn Ibrahim al-Abiliy.
Kepadanya, Ibn Khaldun berguru secara serius. Hingga bisa dikatakan, tokoh
inilah yang banyak memberikan pengaruh mendalam pada Ibn Khaldun. Terlebih
al-Abiliy merupakan sosok yang holistik. Dia merupakan seorang filsuf, ahli
matematika, piawai dalam masalah kalam dan pakar dalam kajian sejarah,
politik dan ekonomi.[5]
Pemahamannya
atas kajian filsafat, nyatanya memberikan kontribusi yang positif bagi
kemampuan intelektualnya. Alih-alih menerima filsafat tanpa reserve,
Ibn Khaldun banyak memberikan "catatan" bagi konsepsi-konsepsi
filsafati. Ibn Khaldun, layaknya al-Ghazali dan Ibn Taymiyyah, pun mengalami
fase meragu-kritis (al-Syakk al-Naqdiy) atas beberapa ajaran filsafat.
Jika al-Ghazali meragu pada kemampuan akal untuk bisa merengkuh kebenaran
sejati (al-Haqq), dan saat Ibn Taymiyyah gamang pada keabsahan
"al-kulliyyât al-'aqliyyah al-'ammâh", maka Ibn Khaldun
tidak meyakini klaim filosof yang mendaku mengetahui segala sesuatu dengan
perantaraan silogisme Yunani. Bagi Ibn Khaldun, rumusan-rumusan logika formal
ala Aristoteles yang begitu dipedomani oleh para filosof Islam, pada banyak
aspek, berseberangan dengan kebenaran alami yang bersumberkan kemampuan
inderawi.[6]
Ibn
Khaldun dengan tegas menafikan keabsolutan kebenaran yang berdasar pada
kaidah mantik. Penafian ini berdasar pada fakta bahwa kesesuaian antara
konklusi (natijah) sebuah tindakan silogikal dengan output
persepsi inderawi tidaklah meyakinkan; sebatas dugaan semata.[7] Fase meragu inilah yang menjadi pondasi bagi idealitas
madzhab empirisme yang diimani oleh Ibn Khaldun. Sebuah madzhab empirisme
yang telah terdivergensi.[8] Empirisme yang bergulat mesra dengan aspek-aspek
religiusitas Ibn Khaldun. Idiom "divergensi empirisme" di sini
bermaksud bahwa dalam ranah teologis-praksis, Ibn Khaldun cenderung sengaja
tidak konsisten dalam berpegang teguh pada metode empirismenya. Sebab sangat
mustahil menarik teori dan hipotesa teologi dalam kancah empirisme sejati
yang menuntut pembuktian dan observasi secara mendalam dan berkesinambungan.
"Pengkhianatan"
(jika kita tak keberatan dengan penggunaan istilah ini) Ibn Khaldun pada
madzhab empirisme bukan lah sebuah tuduhan yang serampangan. Jika dicermati,
konsep empirisme ala Ibn Khaldun mengalami perbedaan yang signifikan dengan
empirisme kepunyaan tokoh-tokoh lain semisal John Locke. Layaknya para
penganut empirisme, filsuf berkebangsaan Inggris John Locke (1632) yang
masyhur dengan konsep "tabula rasa"-nya meyakini bahwa pengetahuan
yang berbasiskan empirisme adalah pengetahuan yang bersifat paripurna. Meski
tokoh ini juga tidak menegasikan adanya pengetahuan yang berbasis intuisi dan
berdasar atas argumentasi. Tokoh ini juga menolak anggapan bahwa manusia
mempunyai pengetahuan yang fitri adanya (innate ideas).[9]
Poin
terakhir itu yang menjadikan Locke dengan Ibn Khaldun kian berbeda.
Sebagaimana al-Ghazali, Ibn Khaldun berasumsi bahwa dalam akal manusia
terdapat pengetahuan dasar dan potensi untuk mengembangkan pengetahuan yang
ada. Bagi penulis, sikap yang diambil Ibn Khaldun dapat dimengerti. Ia
merupakan sebentuk jalan tengah di saat Ibn Khaldun tetap bersikukuh
mengimani empirisme dan ketidakmungkinannya melepas baju religiusitasnya
sebagai seorang muslim. Ibn Khaldun masih saja meyakini akan adanya
"kebenaran lain" (meta-kebenaran) selain kebenaran yang bersumber
dari metode empirismenya. Upaya mendialogkan dua aspek yang berlainan dalam
pribadi Ibn Khaldun nampak jelas dalam keyakinannya bahwa manusia hanya mampu
mengetahui alam fisika. Adapun hal yang berkaitan dengan dunia metafisika
menjadi tanggungjawab agama. Ia sepakat dengan para kaum sufi, bahwa
perjalanan menuju alam metafisika dapat ditempuh melalui zuhud.
Beberapa
sikapnya terhadap agama kian menegaskan asumsi bahwa Ibn Khaldun bersikukuh
mempertemukan madzhab empirisme dengan pengetahuan agama yang dimilikinya.
Salah satu konsekwensi Ibn Khaldun dalam mendamaikan doktrin agama dan
madzhab empirisme adalah kegagalannya dalam memaksimalkan implementasi
madzhab empirisme dalam buku "al-'Ibar wa Diwan al-Mubtada' wa al-Khabar
fı Ayyam al-`Arab wa al-`Ajam wa al-Barbar wa man 'Asarahum min Dhawı
al-Sultan al-Akbar" secara total.[10] Bahkan jika dicermati, sikap yang dipilih Ibn Khaldun
itu, membuat Mukaddimat sendiri terasa bagai dua sisi mata uang. Pada bagian
awal Mukaddimat, Ibn Khaldun menjelma sebagai sosok penganut empirisme taat
dan di bagian akhir , dia tetap tak bisa beranjak dari kungkungan budaya
epigonisme.
Menuju
Objektivikasi Târîkh
Sebuah
kesaksian menarik terekam dalam tulisan Ben Saleem Hamees. Mencoba mengkaji
Ibn Khaldun dan buah pemikirannya melalui pisau bedah kontemporer,
strukturalisme, dia berujar:
"..Kita
tak perlu heran, bagaimana Ibn Khaldun –dengan segala kekayaan konsep
briliannya- terlahir pada masa kemunduran. Sebab, jika dia hidup dalam masa
yang tenang dan tentram, maka dia hanyalah sekedar penulis buku sejarah, atau
pakar fikih dan praktisi politik-prolifik. Tapi karena dia berada dalam
sebuah masa di mana kehampaan meraja, maka dia menjelma sebagai pemikir yang
melawat ke sebalik sejarah.."[11]
Kutipan
di atas bermaksud memberikan sebuah informasi awal bahwa inovasi-inovasi
brilian Ibn Khaldun dalam pelbagai bidang dan kajian lebih banyak terbantu
oleh kian terpuruknya kondisi peradaban Islam. Dengan merujuk kembali kepada
fase meragu-nya Ibn Khaldun, secara terang dapat diketahui bahwa pada
masanya, dominasi logika formal Aristoteles belumlah mereda. Sebagaimana
al-Ghazali dan Ibn Taymiyyah, perlawanan terhadap hegemoni logika klasik
Aristoteles pun dilakukan oleh Ibn Khaldun. Hanya saja, Ibn Khaldun
menjadikan perlawanannya atas mantik (yang terepresentasikan dalam konsep syakk
naqdiy-nya) sebagai titik tolak sekaligus inspirasi bagi upayanya
dalam melakukan pembahasan atas kajian fenomena sejarah. Inilah yang
membedakannya dengan para sarjana Muslim klasik lainnya yang hidup sebelum
Ibn Khaldun. Para sarjana klasik Muslim sebelum Ibn Khaldun lebih
banyak menggunakan "desakralisasi mantik" sebagai spirit pembaruan
dan inovasi dalam diskursus seputar fikih dan kalam.[12]
Secara
brilian, Ibn Khaldun mengaplikasikan al-naqd fi tamhish al-hadits
(daya kritis yang kerap dipakai dalam pembuktian validitas transmisi hadits)
dalam proses validasi historiografi. Bagi Ibn Khaldun, penulisan sejarah
model generasi awal seperti al-Waqidiy dan Ibn Hisyam dapat diuji
keabsahannya dengan metode al-jarh wa al-ta’dil karena masih mengedepankan
pola transmisional (sanad). Yang mengagumkan dari Ibn Khaldun adalah
ketika dia menyodorkan satu tesis bahwa sejarah tidak hanya sekadar
penceritaan ulang atas peristiwa yang terjadi di masa silam.
Namun
lebih dari itu, bahwa sejarah juga harus dipahami sebagai sebuah proses yang
menyampaikan informasi berkaitan dengan sebab-musabab kejadian sebuah
peristiwa. Kajian sejarah juga harus mau menyajikan anasir-anasir yang
mendukung dan menghambat pergerakan sebuah peradaban yang telah lewat. Di
dalam hal ini, terlihat Ibn Khaldun tengah masuk dalam sebuah kajian baru
yang dalam era kontemporer, kita mengenalnya sebagai kajian filsafat sejarah
yang oleh banyak sarjana Barat disematkan kepada filsuf berkebangsaan Italia,
Vico.
Hebatnya,
di tangan Ibn Khaldun, kajian historiografi mengalami pergeseran makna yang
sangat signifikan. Historiografi, galibnya, layaknya di benak para historian
(sejarawan) klasik macam al-Thabari dan al-Mas'udiy selalu saja bermakna
penceritaan ulang atas kisah-kisah nabi dan para raja. Para historian klasik
menghabiskan berjilid-jilid kertas hanya untuk bercerita tentang keluarga
raja dan para keturunannya. Sebagai deskripsi lanjutan, dapat penulis
ketengahkan di sini komparasi model-model metode historiografi yang dianut
oleh beberapa sejarawan klasik. Al-Thabari dalam pengantar buku sejarahnya
yang klasik itu, Tarikh al-Umam wa al-Muluk menjelaskan bahwa dia
hanya mencukupkan diri dengan menyalin secara utuh sebuah peristiwa tanpa
disertai kritisisme atas transmisi dan redaksi. Sementara Abu al-Hasan Ali
ibn al-Husayn al-Mas'udiy dalam pengantar untuk buku sejarahnya yang berjudul
Muruj al-Dzahab wa Ma'adin al-Jawahir fi al-Tarikh,[13] sedikit banyak telah melakukan terobosan baru dengan
menyertakan nalar kritis dalam setiap penerimaannya terhadap sejarah. Dia
hanya menerima kabar-kabar yang masyhur saja.[14] Tragisnya, "penyakit" yang sama juga melanda
al-Maqrizi.[15] Seorang sejarawan yang satu masa dengan Ibn Khaldun.
Dan
pada akhirnya, sikap berbeda diambil Ibn Khaldun. Alih-alih mengekor, Ibn
Khaldun memberikan sinaran baru dalam kajian historiografi. Gaya bertutur
semacam itu yang ditentang habis-habisan oleh Ibn Khaldun. Ibn Khaldun
menyodorkan alternatif dengan menjadikan historiografi lebih memfokuskan diri
pada sejarah masyarakat dan peradabannya seraya menginformasikan konstruksi
sebuah peristiwa dan sebab-akibatnya. Lebih dari itu, Ibn Khaldun (dengan
tanpa mengurangi apresiasi pada historian generasi pertama macam Ibn Ishaq,
al-Thabari dan al-Mas'udiy) mengecam keras madzhab narativisme (al-târîkh
al-washfiy) yang menjadi mainstream para historian Muslim
terdahulu.[16]
Kegeraman
Ibn Khaldun pada madzhab narativisme memang beralasan. Terlebih gaya
narativisme ini lebih didominasi oleh ketundukan pada sumber data dan fakta
historis. Para sejarawan klasik gagal dan enggan melakukan verifikasi terkait
dengan data dan fakta historis.[17] Dalam analisa Ibn Khaldun, kegagalan ini disebabkan oleh
berbagai faktor. Pertama, pencukupan atas data dan fakta
historis yang tersedia dalam lingkup madzhabnya. Kedua,
kepercayaan berlebihan terhadap narasumber. Ketiga, kegagalan
memahami motif sebuah persitiwa sejarah. Keempat, keberpihakan
yang kental pada tokoh-tokoh besar. Kelima, ketidakmampuan dalam
memahami karakteristik sebuah komunitas. Kritik pedas Ibn Khaldun juga
terlontar kembali kepada sederetan sejarawan klasik semodel Ibn Hisyam, Ibn
Ishaq, al-Waqidiy, al-Baladzariy, Ibn Abdul Hakam al-Mishriy, al-Thabariy,
al-Mas'udiy dan Ibn al-Atsir. Oleh Ibn Khaldun, mereka semua dianggap tidak
dapat mensterilkan kajian historiografi sebagaimana yang termanifestasikan
dalam buku-buku sejarah karya mereka dari mitos dan takhayul. Bagi Ibn
Khaldun, buku sejarah yang ideal adalah buku yang enggan memuat cerita
rekaan, mitos, dan khurafat. Bahkan, buku sejarah harus sepi dari
cerita-cerita yang berlawanan dengan karakteristik masyarakat sekalipun.[18]
Selain
melakukan kritik, Ibn Khaldun tercatat melakukan koreksi atas
kesalahan-kesalahan dalam buku-buku sejarah klasik. Sebagai misal, Ibn Khaldun
menganggap data yang menyebutkan secara pasti angka tentara Bani Israil dan
pengikut Musa dalam buku sejarah karangan al-Mas'udi sebagai kabar yang jauh
dari nilai-nilai kebenaran. Ibn Khaldun berpendapat, informasi itu
menyesatkan karena informasi tersebut terkait dengan jumlah bilangan.
Kemudian ada al-Bakriy yang menceritakan sebuah mitos tentang keberadaan satu
kota yang memiliki 10.000 gerbang. Cerita ini pun diyakini oleh Ibn Khaldun
sebagai rekaan semata karena tidak adanya persesuaian dengan karakter
masyarakatnya.[19] Bagi Ibn Khaldun, aspek posibilitas dan imposibilitas
sebuah sejarah dapat dibuktikan dengan pengetahuan yang memadai terhadap
fenomena riil dan pemahaman secara mendalam agar dapat menemukan ciri khasnya
serta sejauh mana tingkat kenisbiannya.
Di
sini, terlihat Ibn Khaldun tengah menawarkan sebuah metode penceritaan
sejarah yang lebih elegan bila disandingkan dengan madzhab narativisme.
Metode yang dalam dunia historiografi kontemporer dikenal dengan metode
strukturalisme; sebuah anti tesa atas metode narativisme. Dengan mengimani
metode ini, Ibn Khaldun hendak menyampaikan kepada publik bahwa kajian
sejarah yang ideal harus berdiri pada sebuah pondasi utama, yaitu upaya
menyibak motif keberlangsungan sejarah. Dengan berpijak atas platform
tersebut, akan dapat diketahui bahwa dalam setiap proses sejarah manapun
terdapat kaidah-kaidah historis bersifat universal dan parsial.[20] Selebihnya, sejarawan juga tidak hanya merasa cukup
dengan kekayaan data dan fakta historis semata, namun punya kewajiban untuk
memahami perangkat-perangkat lain sebagai alat bantu dalam proses penulisan
sejarah.[21]
Keyakinan
Ibn Khaldun di atas bahwa konsep kajian historiografi harus mengambil bidikan
utama berupa peradaban masyarakat terlihat mengalami persenyawaan dengan
konsep historiografi yang digulirkan oleh Arnold Joseph Toynbee, seorang
sejarawan besar berkebangsaan Inggris. Toynbee berpendapat, medan kajian
sejarah kontemporer hendaknya lebih terfokuskan pada komunitas yang tak
tersekat oleh batasan negara dan golongan politik tertentu. Bahkan, bukan
tidak mungkin jika konsep Toynbee tersebut terilhami oleh pemikiran Ibn
Khaldun. Terlebih, dengan jujur dan terbuka, Toynbee memberikan apresiasi
yang hangat pada Ibn Khaldun yang termaktub dalam karya-karyanya.[22]
Pada
akhirnya, gagasan-gasan cerdas Ibn Khaldun dalam kajian historiografi hendak
mengarah pada satu tujuan mulia. Dengan ide-ide inovatifnya itu, Ibn Khaldun
tengah berupaya menanamkan satu hal yang oleh Karl Jaspers disebut sebagai
"kesadaran sejarah". Ia adalah sebentuk kesadaran yang disertai
sebuah kemampuan dan kemauan untuk menempatkan entitas sejarah sebagaimana eksistensinya
dalam sejarah yang telah berproses; sebagaimana sebenarnya berjalan (Wie es
Eigentlich Gewesen).[23] Dan sejarah yang dicita-citakan oleh Ibn Khaldun adalah
sejarah yang menjadikan studi sosial sebagai topik utamanya. Nyatanya,
kecenderungan ini, sekarang menjadi mainstream dalam dunia historiografi.
Mengurai
Lokus Gerak Perubahan Sosial-Politik
Berangkat
dari keprihatinan terhadap sikap permisifisme para historian Muslim klasik
yang tidak melakukan verifikasi data dan redaksi dalam kajian historiografi,
Ibn Khaldun menganggap perlu adanya upaya untuk melakukan penyulihan atas
materi-materi yang termuat dalam buku sejarah klasik yang berjilid-jilid.
Upaya ini menjadi perlu diadakan agar sejarah mampu menampilkan cerita yang
sesuai dengan kondisi yang berkembang di masyarakat. Ibn Khaldun memandang,
kesalahan (ketidak akuratan data) yang terdapat dalam buku-buku sejarah
klasik itu, salah satu penyebab pokoknya adalah karena para sejarawan klasik
buta dengan fenomena-fenomena sosial kemasyarakatan. Mereka tidak mempunyai
modal pemahaman yang kuat atas karakteristik sebuah komunitas masyarakat.[24]
Pun
Ibn Khaldun menganggap kajian atas fenomena sosial kemasyarakatan yang
dilakukan oleh para sarjana klasik sebelumnya belumlah mencukupi. Mereka,
para sarjana klasik, mengkaji fenomena sebuah peradaban hanya dengan sekadar
mendeskripsikannya, menganjurkan untuk menirunya atau bahkan memberikan
gambaran dasar yang terkadang terkesan utopis. Bukan menganalisanya sehingga
mampu menyibak tabiat atau karakter serta kaidah-kaidah yang eksis
dalam peradaban tersebut. Oleh karenanya, Ibn Khaldun berkeyakinan bahwa
kajian atas fenomena sosial kemasyarakatan idealnya berdiri sebagai sebuah
disiplin ilmu mandiri (Sui Generis). Satu disiplin ilmu yang
belakangan dikenal dengan nama ilmu sosiologi. Berdasar fakta tersebut,
banyak kalangan menganggap Ibn Khaldun sebagai "Bapak Ilmu
Sosiologi"; jauh sebelum filsuf Perancis, Auguste Comte (1798-1857)
melakukannya.[25]
Tak
hanya faktor keprihatinan atas buku-buku sejarah klasik yang memuat cerita
tidak akurat yang menggerakkan Ibn Khaldun merumuskan teori-teori baru
berkenaan dengan fenomena sosial kemasyarakatan. Keyakinan Ibn Khaldun pada
gerak evolusi pada peradaban sebagai sebuah keniscayaan juga ikut berpengaruh
dan membantu Ibn Khaldun dalam merumuskan konsep-konsep sosiologinya. Ibn
Khaldun memandang bahwa salah satu karakteristik fenomena sosial
kemasyarakatan tidak bergerak linear, apalagi monoton. Ia akan punya banyak
varian terkait dengan ragam masyarakatnya. Bahkan akan mengalami
ketidaksamaan pula, sekalipun dalam satu komunitas, jika terdapat perbedaan
kurun dan waktu. Jika demikian, adalah sebuah kemustahilan terjadinya
persamaan di dua komunitas dalam fenomena-fenomena sosial kemasyarakatannya.[26]
Demi
membumikan gugusan konsep dan gagasan sosiologinya, Ibn Khaldun merumuskan
sebuah metode. Ibn Khaldun melandaskan kajian sosiologinya pada observasi
paripurna atas fenomena masyarakat dalam sebuah bangsa atau negara, baik
tingkat rawan konfliknya, korelasi dengan generasi sebelumnya serta
menganalisa beberapa ciri mendasar, juga inter relasi dan jalinan komunikasi.
Maka, tak mengherankan, jika metode sosiologi ala Ibn Khaldun ini terdiri
dari dua tahapan. Pertama, studi empirik-induktif-historik
(yang terejawantahkan dalam obervasi). Kedua, analisa mendalam
guna menghasilkan konklusi berupa kaidah-kaidah. Terkait dengan observasi,
Ibn Khaldun menggarisbawahi pentingnya menjadikan fenomena masyarakat sebagai
sesuatu (entitas) yang eksis dan riil. "Wejangan" Ibn Khaldun
tersebut di kemudian hari menjadi pokok bagi madzhab Positivisme yang diimani
oleh Auguste Comte dan Emile Durkheim. Dalam aliran Positivisme, fenomena
masyarakat ditempatkan sebagai entitas riil, bukan sebagai
"sesuatu" yang abstrak.[27]
Mengawali
kajian sosiologinya, Ibn Khaldun mencoba mendedahkan entitas masyarakat
(peradaban) serta karakteristik yang melingkupinya. Baginya, entitas sebuah
masyarakat dapat disingkap dengan menggunakan tiga piranti. Pertama,
sebab-sebab kemunculan masyarakat. Kedua, pengaruh kondisi
geografis pada proses pembentukan fisik maupun non fisik. Ketiga,
pengaruh kekuatan metafisika terhadap kehidupan masyarakat. Dalam menelisik
faktor pendorong kemunculan masyarakat, Ibn Khaldun mengawalinya dengan
mengutip postulat Aristoteles yang menyatakan bahwa pada dasarnya, manusia
merupakan makhluk politik. Dengan politik manusia berupaya agar dapat bekerja
sama untuk memenuhi kebutuhan pokok dan mempertahankan diri.
Hanya
saja, postulat klasik itu oleh Ibn Khaldun diintrodusir sedemikian rupa
sehingga mendapatkan penafsiran yang berbeda. Ibn Khaldun mempertautkan
postulat tersebut dengan realitas konstruksi sosial masyarakat dan dengan
tingkat kebutuhan alamiah masyarakat (manusia) layaknya makan dan upaya
mempertahankan eksistensinya. Berdasar atas pertautan itu, Ibn Khaldun
menyimpulkan bahwa kebutuhan terhadap materi merupakan faktor penentu dalam
proses (kemunculan) peradaban.[28] Konklusi semacam itu yang belum diungkap oleh para
sarjana lain sebelum Ibn Khaldun. Kecenderungan materialisme dalam diri
manusia mengakibatkan munculnya kesadaran bahwa mereka (manusia) tidak dapat
mempertahankan eksistensinya tanpa peran serta dari yang lain. Dan pada
akhirnya, kesadaran untuk saling membantu melahirkan banyak varian peran
kehidupan yang dapat dijalankan oleh masing-masing manusia agar saling
melengkapi satu sama lainnya. Dampak langsung dari ragam fungsi sosial
manusia sebagai instrumen asasi peradaban adalah terjadinya kesepakatan
berupa aturan-aturan yang mengikat mereka semua. Akibat adanya aturan
tersebut, kebutuhan terhadap sosok pemimpin yang bertujuan untuk mengawal
tegaknya kesepakatan menjadi tak terelakkan.
Berdasarkan
fakta bahwa kebutuhan terhadap pemimpin adalah kebutuhan natural, Ibn Khaldun
menyerang konsep "al-Madinat al-Fadhilah"-nya al-Farabi yang
dianggap memberikan gambaran sebuah masyarakat yang mengawang. Terlebih
konsep tersebut menyiratkan bahwa idealitas sebuah masyarakat dapat tercapai
bila masyarakat tersebut mampu lepas dari ketergantungannya pada pemimpin. Di
sini, Ibn Khaldun nampak tengah menyajikan batasan definitif baru bagi
masyarakat. Dia tak memberikan batasan definitif teologis maupun politis,
namun menganggap masyarakat (peradaban) sebagai sebuah perkumpulan yang berdiri
atas prinsip kerja sama. Bermodalkan telaah empirisnya atas faktor-faktor
penyebab kemunculan peradaban, Ibn Khaldun sampai pada sebuah tesa baru,
bahwa sejatinya masyarakat dan negara tidak lah dapat berjalan beriringan,
sekalipun nyatanya, masyarakat mustahil eksis tanpa wujud kekuatan politik.[29]
Gagasan-gagasan
genial Ibn Khaldun tak hanya terhenti di situ. Dengan penguasaan materi
kajian geografi yang termuat dalam buku Ptolemus dan al-Idrisiy, juga
pendapat-pendapat al-Mas'udiy, Ibn Rushd dan Ibn Sina, Ibn Khaldun mencoba
membuktikan adanya pengaruh signifikan dari iklim dan letak geografis bagi
perkembangan fisik dan psikis masyarakat. Oleh Ibn Khaldun, kondisi cuaca
atau iklim, disinyalir memberikan tiga pengaruh signifikan bagi masyarakat. Pertama,
memberikan beberapa ciri khusus dalam proses pembentukan badan. Kedua,
dalam batas-batas tertentu, menjadikan adanya perbedaan dan kesamaan bagi
semua daerah atau bangsa. Ketiga, memberikan pengaruh bagi
perkembangan sejarah sebuah masyarakat. Upaya ini mendapat apresiasi positif
dari akademisi Rusia, I.Y Kratsykovsky dengan menganggapnya sebagai langkah
maju yang belum pernah dilakukan oleh sarjana manapun.[30] Ibn Khaldun pun melengkapi kajiannya dengan menambahkan
data-data yang berkenaan dengan kajian etnografi dan demografi dalam kaitan
relasinya dengan perkembangan peradaban (masyarakat).
Tak
luput dari bidikan Ibn Khaldun adalah kajiannya terhadap fenomena sosial
dengan mengambil sudut pandang pada kaidah-kaidah dan persepsi universal yang
menjadi pokok dan dasar dalam pengaturan masyarakat serta kohesi sosial.
Salah satu kaidah tersebut adalah kaidah yang berkenaan dengan konstruksi
atau struktur luar masyarakat. Kaidah inilah yang oleh madzhab Emile Durkheim
disebut sebagai "La Morphologie Sociale" yang diklaim diperkenalkan
oleh Durkheim. Secara substantif, tesis itu bukanlah barang baru. Terlebih
Ibn Khaldun telah mengintrodusirnya jauh-jauh hari dalam Muqaddimah-nya.[31]
Yang
menakjubkan, selain memperkenalkan substansi Morfologi Sosial, Ibn Khaldun
juga mampu mendeskripsikan dengan akurat sejarah perkembangan masyarakat
(peradaban). Bagaimanapun model konstruksi peradabannya, dalam benak Ibn
Khaldun, ia takkan terlepas dari konsep sejarah perkembangan masyarakat yang
dicetuskannya.[32] Olehnya, sejarah perkembangan masyarakat dipetakan
menjadi tiga tahapan. Yang paling natural adalah fase primitif atau nomaden (al-Tawahhusy),
kemudian memasuki fase tradisional (al-'Umran al-Badawi) dan terakhir,
fase al-'Umran al-Hadhariy (masyarakat sipil; sedentary societies).
Umur ketiga fase tersebut, amat tergantung pada tingkat produktivitas
perekonomiannya. Tak mengherankan, jika Ibn Khaldun berkeyakinan bahwa syarat
asasi bagi eksistensi sebuah masyarakat adalah adanya jaminan bagi hak milik
individu sebagai manifestasi sistem perekonomian parsial. Berdasarkan pada
konsep jaminan keamanan bagi hak milik individu, Ibn Khaldun membangun
teori-teori ekonominya, utamanya teori tata negara dan politik.[33]
Bagi
Ibn Khaldun, jaminan atas hak milik individu dapat terlaksana jika sistem
politik dalam masyarakat tersebut telah tersedia. Wujud dari berjalannya
sistem politik-kekuasaan adalah adanya pemimpin yang kebijakannya dipatuhi
oleh segenap lapisan masyarakat. Dalam konteks sejarah peradaban
(masyarakat), sistem politik kekuasaan, terutama terkait dengan prosesi
pengangkatan pemimpin mempunyai korelasi kuat dengan konsep ashabiyyah
(fanatisme), selain kedua faktor lainnya yakni faktor ekonomi dan agama,
terlebih jika tipe masyarakat tersebut adalah masyarakat tradisional (al-Mujtama'
al-Badawiy).[34] Jabiri, dalam disertasinya yang berjudul al-‘Ashabiyyah
wa al-Dawlah: Ma’âlim Nadzariyyah Khaldûiyyah fit Târikh al- Islâmî juga
memberikan afirmasi yang senada. Dengan meminjam piranti "bawah sadar
politik"-nya Regis Debray, Jabiri sampai pada kesimpulan bahwa ada tiga
hal penting di balik bangunan nalar politik Arab-Islam yaitu kabilah, akidah
dan ghanimah. Bagi penulis, tiga faktor tersebut, sejatinya merupakan
pengulangan atas konsep Ibn Khaldun walau dengan redaksi yang berbeda. Ibn
Khaldun membahasakannya dengan ashabiyyah, al-da'wah al-diniyyah
dan madzhab fil ma‘âsy ghairat thabî‘i.[35]
Beberapa
pandangan maju Ibn Khaldun berkaitan dengan dunia politik kekuasaan juga
terbukti mempunyai daya tahan dan diakui relevansinya. Selain karena
kenetralannya, ide-ide tersebut merupakan ide segar yang menabrak kebekuan
sistem politik saat itu. Terutama dalam wilayah Arab. Terkait dengan
pemimpin, Ibn Khaldun memberikan gambaran bagaimana kriteria seorang
pemimpin. Pemimpin, ujar Ibn Khaldun, haruslah seorang yang adil,
berwawasan luas dan cakap. Dia juga dengan lugas menegasikan prasyarat klan
Quraisy dari keabsahan kriteria pemimpin.[36] Dengan sadar, Ibn Khaldun telah mengambil sikap yang
bertolak belakang dengan mayoritas fuqaha, termasuk al-Mawardi di dalamnya.
Ibn Khaldun mencoba melakukan penafsiran ulang atas persyaratan klan Quraisy.
Dengan mengacu pada konsep 'ashabiyyah-nya, dia meyakini bahwa syarat
klan Quraisy tersebut muncul karena seorang pemimpin membutuhkan legitimasi
yang kuat dalam melaksanakan amanat undang-undang. Dan legitimasi politik
saat itu hanya bisa diperoleh dari klan Quraisy yang notabene merupakan suku
terkuat. Jika demikian, ketika dominasi tidak lagi berada di tangan Quraisy,
maka faktor 'ashabiyyah yang akan mampu menjadi determinannya.
Ibn
Khaldun dalam Perspektif Kekinian
Sekalipun
gagasan Ibn Khaldun termasuk dalam kategori melampaui jamannya, ide besar Ibn
Khaldun, baik dalam kajian filsafat sejarah dan sosiologi tak mendapatkan
apresiasi sepantasnya dari generasi sarjana muslim sesudahnya. Wacana yang
diangkat Ibn Khaldun tak lebih sebagai gagasan periferal; terasingkan. Atau
meminjam gugatan Syed Farid Alatas, “why should a social thinker like Ibn
Khaldun be excluded from the serious study of the history of sociology,
sociological theory or historical sociology?”[37]
Dalam
analisa Syed Farid Alatas, keterkucilan Ibn Khaldun dari pentas sosiologi
kontemporer dikarenakan kecilnya simpati dan pengakuan sarjana Barat terhadap
konsep sosiologi yang digagas pihak non Barat. Analisa Syed Farid Alatas bisa
saja dibenarkan. Faktanya, hanya ada sedikit sarjana Barat yang mengakui
bahwa Ibn Khaldun merupakan pendiri sosiologi. Beberapa dari sedikit itu
antara lain, Von Kriemer, Robert Flint, Ludwig Gumplowizc dan Franz
Oppenheimer. Menurut amatan penulis, keterasingan Ibn Khaldun beserta
gagasannya lebih banyak disebabkan oleh minimnya kesadaran para sarjana
muslim sesudah Ibn Khaldun untuk melanjutkan konsepnya. Boleh dibilang, Ibn
Khaldun tak mempunyai murid yang dapat mengawal kekokohan konsepsinya.
Apresiasi
sarjana muslim atas konsep Ibn Khaldun baru merebak pasca ide pembaharuan
mulai berkumandang. Kita mengenal Abdullah Laroui yang membandingkan Ibn
Khaldun dengan Niccolo Machiavelli, Ali Abdul Wahid Wafi yang
membandingkannya dengan Auguste Comte, Abdul Aziz Izzat yang
mengkomparasikannya dengan Emile Durkheim, dan Fuad Bali yang
mempersandingkannya dengan Karl Marx.
Upaya
beberapa sarjana muslim melakukan komparasi gagasan Ibn Khaldun dengan
gagasan para pengkaji sosiologi di era modern pada dasarnya sebuah langkah
untuk membuktikan kepada publik bahwa Ibn Khaldun merupakan pendiri ilmu
sosiologi. Sekalipun demikian, fakta itu tak bisa mengabaikan bahwa para
sarjana Barat lah terhitung semenjak era Rennaisance yang mendominasi kajian
sosiologi. Fakta tersebut juga tak bisa mengaburkan, betapa beberapa kalangan
intelektual, baik dari pihak Barat ataupun Islam sendiri yang meragukan
otentisitas gagasan Ibn Khaldun. Dari kalangan Islam ada Mahmud Ismail yang
gigih meruntuhkan klaim originalitas pemikiran Ibn Khaldun, sedang di Barat
ada H.A.R Gibb yang meragukan keaslian metode Ibn Khaldun yang dianggapnya
hanya mengadopsi dari sarjana sebelumnya.[38]
Meski
tak sedikit yang bersuara nyinyir atas penyematan konsep sosiologi pada Ibn
Khaldun, nyatanya, banyak kalangan yang bersikukuh bahwa Ibn Khaldun adalah
peletak dasar konsep-konsep sosiologi kontemporer yang lantas didaku sebagai
karya original para sarjana Barat. Sebagai misal, dalam bukunya berjudul
"Ibn Khaldoun; Naissance de L'Histoire passe du Tiers Monde", Yves
Lacoste berkeyakinan jika sesungguhnya Ibn Khaldun adalah penggagas bagi
metode materialisme-historisisme.[39] Satu metode yang selalu dikaitkan dengan metode
dialektika materialisme aliran Marxisme.
Bagi
penulis, klaim Lacoste bukanlah sebuah klaim gegabah. Sebab pada
kenyataannya, Ibn Khaldun dalam Mukaddimahnya secara tegas menyatakan,
"sesungguhnya, perbedaan antar generasi dalam beberapa sifatnya,
berkelindan dengan perbedaannya dalam mata pencaharian." Pernyataan
lebih tegas datang dari Syed Farid Alatas yang berkeyakinan jika
konsep-konsep Ibn Khaldun tidak semuanya bersifat partikularistik dan
temporal. Adalah sebuah keniscayaan bagi kajian sosiologi modern untuk
menerima konsep-konsep sosiologi yang teleh dikembangkan oleh Ibn Khaldun
sebelumnya.[40]
Sikap
yang menganggap bahwa Ibn Khaldun merupakan pioner kajian sosiologi juga
keluar dari Mahmoud Dhaouadi. Menurutnya, ada beberapa kesamaan yang nampak
dalam konsep sosiologi Ibn Khaldun (Timur) dengan konsep sosiologi sarjana
Barat Modern dan Kontemporer. Salah satu hal yang dipakai olehnya sebagai
dalil adalah komparasi dalam tipologi masyarakat. Hampir mayoritas sosiolog
Barat mengikuti Ibn Khaldun yang membagi masyarakat pasca primitif dalam dua
bentuk. Ibn Khaldun menamakannya dengan tipe badawi dan hadhari,
Durkheim dengan kategori mechanical dan organic solidarity society,
Becker dengan sacred dan secular society, Lerner dengan traditional
dan modern society, dan Parsons dengan pattern variables;
particularism dan universalism oriented society.[41] Praktis hanya berbeda dalam istilah atau nomenklatur.
Kesimpulan
Betapapun,
kiprah intelektual Ibn Khaldun tak bisa dinafikan begitu saja. Sebagai sosok
yang terlahir ketika dunia Arab Islam tengah kehilangan simbol politik
kekuasaan, tak menjadikan Ibn Khaldun terjebak dalam budaya defeatisme yang
menjadi alternatif paling realistis bagi masyarakat Arab Islam. Dengan konsep
sosiologi serta filsafat sejarahnya, Ibn Khaldun melalui ide briliannya itu
mendapat pelbagai apresiasi dari sejumlah kalangan.
Selain
sebagai pioner kajian sosiologi, Ibn Khaldun juga disebut sebagai penggagas
bidang filsafat sejarah. Beberapa akademisi malah beranggapan, karya Ibn
Khaldun berjudul Mukaddimah itu justru serupa bibit bagi kajian antropologi
modern yang matang di tangan Barat.[42] Tak salah, bila kita menganggapnya sebagai bukti bahwa dunia
Islam tak terlalu meratapi keruntuhan Baghdad yang selalu disalahpahami
sebagai penyahih bagi kelesuan dunia intelektual Islam.[] Allahumma Inni
As'aluka al-'Afwa wa al-'Afiyat wa al-Mu'afat. Najjihna Ya Rabb!.
[1] Ide dan kreasi serta terobosan
tokoh besar ini pada mulanya, di kalangan Arab-Islam, praktis tidak
mendapatkan apresiasi yang sepantasnya. Sosok ini terlahir dengan nama
Abdurrahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn al-Hasan ibn Muhammad
ibn Jabir ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Abdurrahman ibn Khaldun. Tentang Ibn Khaldun
secara lengkap, lihat, Abdurrahman ibn Khaldun, (2006), al-Ta'rif
bi Ibn Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa Syarqan, Cet. I, Cairo: al-Hay'at al-'Ammah li Qushur
al-Tsaqafah, h. 1.
[2] Sebuah buku mencoba mendeskripsikan
detik-detik kehancuran peradaban Islam di tangan pasukan Mongol secara
gamblang dan lugas. Ini yang menyebabkan buku ini menjadi sebuah buku
otoritatif dalam kajiannya. Untuk lebih jelasnya, lihat, Mushthafa Thaha
Badar, (1999), Mihnat
al-Islam al-Kubra; aw Zawal al-Khilafah al-'Abasiyyah min Baghdad 'ala Aydi
al-Mongol, Cet.
II, Cairo: al-Hay'at al-Mishriyyah al-'Ammah li al-Kitab.
[3] Kesaksian Von Kriemer tersebut
dapat dijumpai dalam, T.J De Boer, (t.t), Tarikh al-Falsafah al-Islamiyah, Cairo: Lajnat al-Ta'lif wa
al-Tarjamah wa al-Nasyr, h. 269.
[4] Analisa berbeda dikemukakan oleh
Dr. Qasem Abduh Qasem dalam tulisannya yang berjudul Ibn
Khaldun; Kayfa Qara'ahu al-Mu'arrikhûn. Baginya, Ibn Khaldun hidup pada masa-masa akhir
menjelang masa kegelapan Arab. Menurutnya, kemunduran Arab (Islam) terhitung semenjak
berkuasanya Dinasti Utsmaniyyah atas sebagian besar wilayah Arab. Lihat
analisanya dalam, Dr. Qasem Abduh Qasem, (November 2006), Ibn
Khaldun; Kayfa Qara'ahu al-Mu'arrikhûn, Vol.576, Kuwait: Majalah al-Arabiy, h. 66-69.
[5] Relasi antara Ibn Khaldun dan
al-Abiliy digambarkan secara apik oleh Svetlena Batshiva, (1986), al-'Umran
al-Basyari fi Muqaddimah Ibn Khaldun, Cairo: al-Hay'at al-Mishriyyah al-'Ammah li al-Kitab, h.
52-54. Banyak kalangan menunjuk al-Abiliy sebagai salu satu determinan bagi
potensi intelektual Ibn Khaldun. Tapi dalam amatan yang lain, potensi
intelektual Ibn Khaldun terasah karena karakternya yang selalu ingin berbuat
hal yang berbeda dengan orang-orang disekitarnya. Lihat, Franz Rosenthal,
(1983), Ibn
Khaldun in his Time (May 27, 1332 - March 17, 1406), Journal of Asian and African
Studies, 18, 166, h. 168.
[7] Kritik Ibn Khaldun terhadap
filsafat dapat dijumpai dalam sebuah bab khusus yang bertajuk "Fashl fi
Ibthâl al-Falsafat wa Fasâdi Muntahalliha". Untuk lebih jelasnya, lihat dalam, Ali Abdul Wahid
Wafi (ed), Abdurrahman ibn Muhammad Ibn Khaldun, (2006), Muqaddimat
Ibn Khaldun, Vol.
III, Cairo: al-Hay'at al-Mishriyyah al-'Ammah li al-Kitab, h. 1080-1086.
[8] Dalam kajian filsafat, empirisme
adalah sebuah teori pengetahuan yang menekankan peran eksperimentatif,
terutama yang berkaitan dengan persepsi inderawi dalam sebuah kesatuan
formasi ide atau gagasan. Pada masa klasik, madzhab ini terwakili oleh
kalangan Shopis, Aristoteles. Di masa Islam Klasik, tokoh yang mengimaninya
adalah Ibn Sina, Ibn Rushd dan Ibn Khaldun. Di Barat, empirisme mengenalkan
pada kita sosok-sosok seperti Thomas Aquinas, Francis Bacon, Thomas Hobbes,
John Locke, George Berkeley, David Hume, dan John Stuart Mill. Sekalipun
demikian, empirisme antara satu tokoh dengan tokoh lainnya telah banyak
mengalami perkembangan; untuk tidak menganggapnya sebagai sebuah penyimpangan
atau deviasi.
[9] Tentang penjelasan lebih detail
mengenai Tabula
Rasa dan Innate Ideas dapat dilihat dalam, Azmi Islam,
(t.t), John
Locke, Cairo: Dar al-Tasaqafah, h.
56-57.
[10] Mahmud Ismail, (2000), Nihayat
Usthurat Nadhariyyat Ibn Khaldun Muqtabasat min Rasa'il Ikhwan al-Shafa, Cairo: Dar al-Quba, h. 12.
[11] Ben Saleem Hamees, (2006), al-Khalduniyyah
fi Dhaw'i Falsafat al-Tarikh,
Cairo: al-Majlis al-A'la li al-Tsaqafah, h. 23.
[12] Lihat dalam Samiyah Hasan
al-Sâ'âtîy, (2006), Ibn Khaldun Mubdi'an; Qira'at Jadidah li Fikrihi wa
Manhajihi fi 'Ilm al-Ijtima',
Cairo: al-Majlis al-A'la li al-Tsaqafah, h. 102-104. Bandingkan dengan sebuah
artikel yang ditulis olehnya. Lihat dalam, Samiyah Hasan al-Sâ'âtîy, (Mei
2007), al-Syakk
'inda Ibn Khaldun,
Vol.582, Kuwait: Majalah al-Arabiy, h. 23-27.
[13] Tokoh besar ini terlahir di
Baghdad pada tahun 896 M. Oleh banyak kalangan, tokoh ini mendapat julukan
Herodotus dari Arab. Sekalipun Ernest Renan lebih suka membandingkannya
dengan penulis besar Yunani Kuno, Pausanias. Dalam kajian historiografi,
al-Mas'udiy tercatat sebagai sarjana Arab pertama kali yang mengkombinasikan
sejarah dengan pendekatan geografis dalam skala yang masif.
[14] Tentang komparasi metode
historiografi beberapa mu'arrikh
besar Islam Klasik dapat dijumpai dalam, Hasan al-Sa'atiy, (2006), 'Ilm
al-Ijtima' al-Khalduniy; Qawa'id al-Manhaj, Cairo: al-Majlis al-A'la li al-Tsaqafah, h. 67-71.
[15] Tentang tokoh ini, silahkan baca,
Dr. Qasem Abduh Qasem, (Januari 2006), al-Maqriziy; Syahidu 'Ashrihi, Vol.576, Kuwait: Majalah
al-Arabiy, h. 154-157. Sayangnya, kajian yang dilakukan oleh Qasem Abduh
Qasem lebih kental nuansa apologianya.
[16] Bagi para penikmat kajian
historiografi dapat mengetahui dengan seksama bahwa metode narativisme banyak
memiliki kelemahan. Salah satunya adalah bahwa narativisme kerap lebih banyak
bercerita tentang orang-orang besar dan enggan berupaya memahami fenomena di
balik sebuah peristiwa sejarah dan oleh karenanya ia cenderung literalistik;
apa adanya.
[17] Uraian singkat mengenai kesadaran
untuk memulai objektivikasi penulisan sejarah dapat dilihat dalam, Dr. Abdul
Hakim al-Ka'biy, (September 2005), al-Tarikh wa Ma Wara'a al-Tarikh, Vol.562, Kuwait: Majalah
al-Arabiy, h. 22-25. Dalam tulisan tersebut, digambarkan adanya kemiripan
konsep dan analisa antara Ibn Khaldun di Islam dengan figur Vico di Barat,
terutama dalam permasalahan penyebab kesalahan sejarawan.
[18] Bandingkan antara Ali Abdul Wahid
Wafi (ed),
Op-cit, Vol. I, h. 114-115 dengan
Svetlena Batshiva, Op-cit,
h. 134-136. Keyakinan Ibn Khaldun bahwa peristiwa sejarah harus mengalami
persenyawaan dengan karakteristik masyarakat menghasilkan sebuah kaidah
terkenal dalam dunia historiografi. Kaidah tersebut adalah relasi sebuah
kejadian sejarah dengan keadaan di mana peristiwa sejarah tersebut terjadi
merupakan relasi kausalitas. Kaidah ini memberikan pemahaman bahwa hampir
mustahil sebuah kejadian sejarah akan berbeda satu sama lainnya jika keadaannya
serupa. Untuk jelasnya, lihat, T.J De Boer, Op-Cit, h. 273-274.
[21] Penjelasan lebih dalam mengenai
metode strukturalisme dalam kajian historiografi kontemporer dapat ditemukan
dalam, Christhoper Lloyd, (1987), Explanation in Social History, London: Blackwell. Bagi Lloyd,
strukturalisme merupakan alternatif ketika hendak mendeskripsikan bangunan
sebuah peristiwa sejarah secara utuh.
[22] Lihat, Neevin Gomah Ilm al-Din,
(1991), Falsafat
al-Tarikh 'inda Arnold Toynbee,
Cairo: al-Hay'at al-Mishriyyah al-'Ammah li al-Kitab, h. 21-26.
[25] Sayangnya, asumsi itu ditolak
dengan sengit oleh Thaha Husain. Adalah tindakan berlebihan menganggap Ibn
Khaldun sebagai pendiri Ilmu Sosiologi. Dalam disertasinya, Thaha Husain
menolak anggapan banyak kalangan yang menyatakan Ibn Khaldun sebagai Bapak
Ilmu Sosiologi. Dia –Ibn Khaldun-, ujar Thaha Husain hanya sekadar mengangkat
konsep-konsep partikular-parsial. Selengkapnya, lihat, Thaha Husain, (2006), Falsafat
Ibn Khaldun al-Ijtima'iyyah; Tahlil wa Naqd, Cairo: al-Hay'at al-Mishriyyah al-'Ammah li al-Kitab, h.
70-73. Belakangan, Mahmud Ismail juga menganggap, ide-ide Ibn Khaldun hanya
sekadar duplikasi dan plagiasi dari konsep dan gagasan Ikhwan al-Shafa. Untuk
membuktikan tesanya, Mahmud Ismail mengarang sebuah buku berjudul "Nihayat
Usthurat; Nadhariyyat Ibn Khaldun Muqtabasat min Rasa'il Ikhwan
al-Shafa" yang
menyulut perdebatan antar akademisi Arab. Dia juga mengarang buku lanjutan
berjudul "Hal
Intahat Usthurat Ibn Khaldun; Jadal Sakhin bayn al-Akademiyyin wa
al-Mufakkirin al-Arab"
yang merekam perdebatan para akademisi berkenaan dengan tesanya. Ironisnya,
nada ramah keluar dari orientalis berkebangsaan Rusia dalam menyikapi tuduhan
plagiasi yang dilakukan oleh Ibn Khaldun atas konsep Ikhwan al-Shafa.
Svetlena Batshiva berpendapat, ada perbedaan yang sangat signifikan antara
gagasan Ikhwan al-Shafa dengan ide yang dicetuskan oleh Ibn Khaldun. Lihat,
Svetlena Batshiva, Op-cit,
h. 222. Pembelaan untuk Ibn Khaldun juga terlontar dari para akademisi
terkemuka dunia Arab seperti Dr. Zainab al-Khudhari, Dr. Hasan al-Sa'atiy dan
rekan-rekan.
[27] Ada banyak kesamaan antara konsep
Sosiologi yang digagas Ibn Khaldun dengan Auguste Comte. Secara metodologi
dan pembagian kajian sosiologi pun serupa. Hanya saja, dalam pembagian
wilayah kajian sosiologi, Comte membaginya menjadi 2 bagian terpisah, yaitu
La Dynamique Sociale (al-Dirasat al-Tathawuriyyah –versi Ibn Khaldun) dan La Statique Sociale (al-Dirasat
al-Tasyrihiyyah
–versi Ibn Khaldun). Sementara Ibn Khaldun menjelaskan keduanya secara acak
dan saling bercampur satu sama lainnya dan tentunya dengan istilah yang
berbeda dari Comte. Perbedaan yang signifikan antara keduanya, bagi Ali Abdul
Wahid Wafi selain berkutat pada kesimpulan akhir, juga pada motif kemunculan
kajian sosiologi. Motif Comte mengembangkan kajian sosiologi adalah hasratnya
untuk melakukan perbaikan masyarakat dan melepaskannya dari faktor-faktor
kerusakan. Lihat, Ibid,
h. 206-218.
[32] Thaha Husain, Op-cit, h. 95. Dengan obyektif, Thaha
Husain memberikan pengakuan tulus bahwa konsep sejarah peradaban ala Ibn
Khaldun (Thaha Husain menyebutnya sebagai Qanun al-Athwar al-Tsalatsah) merupakan konsep yang belum
pernah digagas oleh orang lain. Sekalipun demikian, dia tetap memandang
kritis konsep tersebut dengan menyebutnya sebagai konsep yang dilematis
ketika dibawa ke ranah praksis.
[34] Para pengkaji Ibn Khaldun, baik
dari kalangan Arab maupun orientalis banyak yang berbeda pendapat dalam
mendefinisikan konsep 'ashabiyyah.
Sebagian menganggap 'ashabiyyah
sebagai fanatisme kesukuan, sebagian lagi mengartikannya sebagai sekumpulan
spirit yang menyatukan manusia dalam sebuah komunitas masyarakat. Silahkan,
buka, Svetlena Batshiva, Ibid,
h. 204-205. Bandingkan dengan, Mishbah al-Amiliy, (1988), Ibn
Khaldun; wa Tafawwuq al-Fikr al-'Arabiy 'ala Fikr al-Yunaniy bi Iktisyafi
Haqa'iq al-Falsafah,
Cet. I, Tripoli: al-Dar al-Jamahiriyah li al-Nasyr wa al-Tawzi' wa al-I'lan,
h. 409.
[35] Ali Abdul Wahid Wafi menolak
relevansi konsep-konsep politik kekuasaan model Ibn Khaldun seperti relasi 'ashabiyyah dan al-din dengan eksistensi kekuasaan. Dalam analisanya,
pendapat-pendapat Ibn Khaldun berkenaan dengan politik kekuasaan tidak bisa
berlaku universal karena konsep tersebut terlahir dari observasi yang kurang
memadai. Ali Abdul Wahid Wafi juga tak sepakat dengan temuan Ibn Khaldun yang
berisikan asumsi atas umur sebuah bangsa. Lihat, Ali Abdul Wahid Wafi (ed), Op-cit, h. 228-229.
[37] Syed Farid Alatas, (Nopember 2006),
Ibn Khaldun and Contemporary Sociology, Vol. 21 (6), Journal of International
Sociology, h. 782.
[39] Yves Lacoste, (1982), Ibn
Khaldoun; Naissance de L'Histoire passe du Tiers Monde, dialihbahasakan ke dalam bahasa
Arab oleh Michael Sulayman dengan judul al-'Allamat Ibn Khaldun, Beirut: Dar Ibn Khaldun, cet.
III, h. 193.
[40] Syed Farid Alatas, (2006), A
Khaldunian Exemplar for a Historical Sociology for the South, 54, 397, Current Sociology, h.
407 - 408.
[41] Mahmoud Dhaouadi, (1990), Ibn
Khaldun: The Founding Father Of Eastern Sociology, International Sociology, 5, 319, h. 329 – 330.
[42] Jon W. Anderson, (1983), Conjuring
with Ibn Khaldun: From an Anthropological Point of View, Journal of Asian and African
Studies 18, 263.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar